Beliaumengirim kabar duka, sekaligus minta dibantu menyebarkan rencana akan digelarnya acara tahlilan atas wafatnya YM Dr. Ir. Pangeran Hempi, Raja Keprabon Cirebon. Itu terjadi ada Selasa siang 13 Juli 2021.
Cirebon - Budayawan dan Keraton Kasepuhan menyayangkan rusaknya situs Sultan ke VI Keraton Kasepuhan Cirebon Pangeran Matangaji oleh pengembang perumahan. Mereka mengecam dan menuntut pengembang agar bertanggungjawab terhadap perusakan situs itu. Pemerintah Kota Cirebon diketahui telah memberhentikan aktivitas proyek pengembangan perumahan lantaran belakangan diketahui tidak berizin. Munculnya Kota Barus sebagai Perintis Bahasa Indonesia Kisah Lorong Rahasia Gua Sunyaragi dan Hancurnya Situs Sultan Matangaji Cirebon Dijuluki Ustaz Gadungan, Pemuda Palembang Nekat Bunuh Calon Pengantin Seiring dengan upaya menata kembali situs yang rusak tersebut, tidak semua orang tahu bagaimana kiprah Sultan Matangaji semasa hidupnya berjuang melawan penjajah Belanda. Filolog Cirebon Rafan S. Hasyim mengatakan, era Sultan Matangaji dianggap merupakan puncak dari perlawanan Cirebon terhadap Belanda. Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep. "Termasuk Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara," ujar pria yang akrab disapa Opan Safari, Kamis 20/2/2020. Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin 1753-1773. Sang Sultan mengawali perlawanan terhadap Belanda. Dia menuturkan, Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon. "Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati," PerlawananGua Sunyaragi saksi bisu perjuangan tokoh Cirebon melawan Belanda salah satunya Sultan ke V Keraton Kasepuhan Sultan Matangaji. Foto / Panji PrayitnoNamun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin Matangaji yang memiliki nama kecil Amir Siddiq 1773-1786. Sultan Matangaji secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker. "Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju. Termasuk situs yang dirusak itu jadi pintu keluar Sultan Matangaji saat Gua Sunyaragi dikejar Belanda," ungkap Opan. "Belanda mengenal Gua Sunyaragi sebagai istana musim panas atau istilahnya tempat dugem dunia gemerlap para Sultan dengan haremnya. Padahal sebenarnya memang dirancang untuk perlawanan," sambung Opan. Namun, di tengah membangun kekuatan perlawanan, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda. Singkat cerita Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi. Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji sembari mendirikan pesntren di kawasan Sumber sebagai perlawanan. "Seiring berjalannya waktu terjadilah perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang," Opan menjelaskan. Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda. Opan mengatakan, Ki Muda adalah adik ipar Sultan situs Sultan Matangaji hancur setelah ditimbun untuk proyek perumahan . Foto / Panji PrayitnoNamun, ketika perundingan berlangsung, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji. Beruntung, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan ke V Keraton Kasepuhan itu. Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji. Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan. "Sultan Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri. Perjuangan dianggap berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji," tutur dia. Namun, kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem Pangeran Sukmadiningrat, Bagus Rangin Pangeran Atas Angin, Bagus Serit Pangeran Syakroni. Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818. "Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari perang di situ Belanda kalah terus," Opan mengisahkan. Pada peperangan itu, Belanda terus dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin Ki Bagus Rangin. Ki Bagus Rangin memimpin kurang lebih pasukan yang merupakan para santri-santri terlatih. Dalam puncak perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah dan merugi hingga kurang lebih 7500 gulden. Hingga akhirnya Belanda pun mengeluarkan sayembara untuk mencari dan membunuh Ki Bagus Rangin dan Bagus Serit dengan bayaran 2500 gulden per kepala. "Di Perang Kedongdong Belanda rela menyewa pasukan Madura tapi anehnya para pasukan Madura membelot dan justru bergabung dengan Cirebon," sebut dia. Saksikan video pilihan berikut ini Salah satu gamelan pusaka koleksi Keraton Kacirebonan konon bisa mendatangkan hujan* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ciremaitodaycom, Cirebon - Massa dari kubu Raden Heru Rusyamsyi Arianatareja atau Pangeran Kuda Putih yang berjumlah sekitar ratusan menggeruduk Keraton Kasepuhan Cirebon, Jumat (14/8/2020) kemarin. Mereka menolak Putera Mahkota PRA Luqman Zulkaedin dinobatkan menduduki kursi Sultan Sepuh XV.
Menggali Potensi Wisata Religi di Bandung Barat Oleh Adhyatnika Geusan Ulun “Tempat yang sarat dengan sejarah itu sangat disayangkan jika dibiarkan tanpa dijaga kelestariannya. Sudah saatnya Pemerintah menyikapinya dengan cepat, agar jejak penyebaran Islam di Kab. Bandung Barat ini tidak sirna. Potensi wisata religi ini perlahan akan meredup jika tidak segera dibenahi. Generasi akan datang hanya akan membaca kisah pejuang syiar Islam ini di buku-buku cerita legenda tanpa dapat melihat bukti fisiknya.” Bandung Barat adalah kabupaten yang relatif berusia muda. Daerah otonom hasil pemekaran Kab. Bandung tersebut diresmikan pada 12 januari 2007. Daerah yang cukup kaya dengan sejumlah potensi yang dimilikinya; mulai dari keadaan alam, jumlah penduduk, objek wisata, hingga institusi pendidikan yang tersebar di seluruh wilayahnya. Hal tersebut menjadikan kabupaten muda ini sangat berpeluang menjadi daerah yang unggul dalam segala bidang. Salah satu primadona Kab. Bandung Barat KBB adalah sektor pariwisata. Saat ini tercatat 159 situs bersejarah tersebar di 16 kecamatan. Sebanyak 17 situs di antaranya didaftarkan menjadi cagar budaya nasional. Sementara itu, baru satu situs yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya nasional, yaitu Observatorium Bosscha di Lembang. Melihat hal ini, objek wisata di daerah ini cukup lengkap. Mulai dari wisata alam seperti; Tangkuban Perahu, Gunung B[urangrang, Curug Maribaya, Taman Begonia, Taman Hutan Jayagiri Lembang, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Curug Omas, Curug Cimahi, Curug Malela, Situ Ciburuy, Stone Garden, Gua Pawon, Gua Sanghyang Tikoro, Lembah Curugan Gunung Putri, Waduk Cirata, Waduk Saguling, Sēndang Geulis Kahuripan, Pasir Keraton, Tutugan Burangrang. Kemudian wisata sejarah; Observatorium Bosscha, Makam Karl Adolf Bosscha. Belum lagi ada wisata keluarga dan kuliner, yakni Kampung Gajah Wonderland, Pusat Tanaman Cihideung, Dusun Bambu Lembang, Ciwangun Indah Camp, Terminal Wisata Grafika Cikole, Floating Market Lembang, Farm House Lembang, De’Ranch Lembang, dan Kota Baru Parahyangan. Adalah wisata religi yang tidak boleh diabaikan, dan patut diperhitungkan oleh Pemerintah KBB, mengingat penduduknya yang religius dan mayoritas suku Sunda yang identik dengan Islam. Sebenarnya cukup banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan menjadi wisata unggulan disamping objek di atas. Daerah yang banyak dihuni oleh para ulama dan santri ini memiliki sejumlah situs sejarah jejak-jejak peninggalan para penyebar agama Islam. Sebut saja Makam Embah Dalem Jagat Sakti dan Eyang Dipatiukur di Cipatat, Makam Eyang Keraton Ciawitali di Cikalongwetan. Makam Sembah Dalem Ibrahim di Ciraden Cihampelas, Makam Mama Ilyas Cibitung, Makam Keramat Salem di Desa Tenjolaut, Makam Keramat Dayeuh Luhur di Desa Puteran, Makam Keramat Bale Kambang di Komplek Perkebunan Gunung Susuruh, dan Makam Syaikh Maulana Muhammad Syafei atau Pangeran Raja Atas Angin di Cipongkor. Menarik untuk dikaji tentang situs sejarah yang berada di Desa Cijenuk, Kecamatan Cipongkor, Kab. Bandung Barat, yakni Makam Syaikh Maulana Muhammad Syafei. Pemakaman seluas 2,5 hektar ini, menyimpan jejak-jejak sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Priangan, khususnya Bandung dan sekitarnya. Sebuah pohon besar, yang akarnya menyembul ke permukaan makam, menambah istimewanya area ini. Adalah Syaikh Maulana Muhammad Syafei, seorang penyebar agama Islam keturunan langsung Sultan Ageng Tirtayasa, atau keturunan kesembilan Syaikh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Tokoh ini merupakan pelopor syiar Islam di sejumlah wilayah Jawa Barat; mulai dari Cisewu, Garut, hingga Surade, Sukabumi. Kedatangannya tidak terlepas dari misi dakwah yang diembannya sebagai seorang Waliyullah. Ditemani oleh dua panglimanya, yakni Eyang Jaga Raksa dan Eyang Jaga Wadana, Sang Wali berdakwah ke pelosok daerah. Dalam syiarnya di daerah Cijenuk, dibantu oleh sang istri, Nyimas Rangga Wuluh, dan kedua anak perempuannya, yakni Nyimas Rangga Wulan dan Nyimas Rangga Wayan, Syaikh Maulana mendirikan sebuah pesantren. Pesantren sederhana namun kerap dikunjungi para santri dari berbagai daerah. Keempat tokoh tersebut sangat berperan dalam berkembangnya Islam. Dari sinilah keturunan Syaikh Maulana banyak mendirikan pesantren di berbagai tempat. Semasa hidupnya, Syaikh Maulana Muhammad Syafei dikenal memiliki banyak karomah. Salah satu karomahnya adalah dapat berada di banyak tempat dalam satu waktu. Menurut penuturan para orang tua di Cijenuk yang diimami salat zhuhur oleh Sang Wali, sama halnya dengan daerah lain yang juga diimami salat Syaikh. Inilah yang kemudian membuat masyarakat menjulukinya sebagai Pangeran Raja Atas Angin. Gelar Pangeran Raja dikarenakan Syaikh turunan Kesultanan Cirebon, sementara Atas Angin dikarena dapat berpindah tempat dalam satu waktu. Kembali ke situs di atas. Setiap hari terdapat 100-200 peziarah datang. Pada malam Jumat Kliwon bisa mencapai peziarah. Bahkan pada 12-17 Rabiulawal, saat haul Sang Wali, jumlah peziarah mencapai puncaknya. Dalam se-minggu bisa mencapai 10 ribu peziarah datang dari berbagai daerah, termasuk dari pelosok Nusantara, seperti Batam, Aceh, Padang, Gorontalo dan bahkan Malaysia. Selain mendoakan Syaik Maulana, juga mengambil hikmah perjuangan syiarnya, sambil merasakan tenteramnya pemakaman di daerah yang masih hening, jauh dari kebisingan kota. Kegiatan yang dilakukan biasanya berzikir, bertawasul kepada Baginda Rasul, dan istigotsah yang dipandu oleh penjaga kunci makam. Para pecinta Sang Wali bersimpuh di kompleks pemakaman yang juga termasuk anak pertamanya, Raden Muhammad Kamaludin, dengan tembok setinggi 1,3 meteran. Di sebelah Barat berdiri gerbang berwarna putih. Sementara, di bagian timur terdapat dua bangunan majelis, berhadapan langsung dengan makam yang masing-masing berukuran 18 x 9 meter. Bangunan tersebut diperuntukkan bagi peziarah perempuan, dan 15 x 9 meter untuk laki-laki. Selain itu terdapat Masjid Al-Karomah, yang dibangun pada tahun 2000-an. Umumnya para peziarah datang berkelompok dengan kendaraan roda dua dan empat. Tidak sedikit juga perorangan. Melihat animo peziarah yang terus bertambah setiap waktu, belum didukung infrastruktur yang memadai. Jalan belum cukup dilalui oleh kendaraan ukuran besar. Masjid yang ada, juga tidak mampu menampung jamaah yang membludak pada saat haul. Keterbatasan dana pemeliharaan yang selama ini diambil dari sedekah peziarah dan uang pribadi pengelola sangat berimbas pada keasrian komplek. Butuh perhatian dinas terkait agar semua permasalahan di atas dapat diatasi. Tempat yang sarat dengan sejarah itu sangat disayangkan jika dibiarkan tanpa dijaga kelestariannya. Sudah saatnya Pemerintah menyikapinya dengan cepat, agar jejak penyebaran Islam di Kab. Bandung Barat ini tidak sirna. Potensi wisata religi ini perlahan akan meredup jika tidak segera dibenahi. Generasi akan datang hanya akan membaca kisah pejuang syiar Islam ini di buku-buku cerita legenda tanpa dapat melihat bukti fisiknya. Akhirnya, semoga hal ini segera ditindaklanjuti pihak berwenang. Gigihnya Syaikh Maulana Muhammad Syafei dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, haruslah dijawab oleh setiap anak bangsa dengan lebih semangat melestarikannya. Jika Pangeran Raja dapat berada di berbagai tempat dalam satu waktu, maka generasi berikutnya harus mampu berada dalam berbagai keadaan dalam satu tujuan. Melestarikan dan meneruskan perjuangan mulia Sang Wali.*** Narasumber Ii Prawirasuganda Ketua Komite SMPN 1 Cipongkor, Kuncen dan keturunan ke-9 Pangeran Raja Atas Angin, Bangsawan Penyebar Agama Islam Profil Penulis Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Ig.adhyatnika geusan ulun Total Views 0
Sementaradi sisi lain Pangeran Wangsakerta yang sebelumnya menjadi Penguasa Cirebon juga tetap dijadikan penguasa Cirebon meskipun tanpa Istana, Pangeran Wangsakerta diberikan wilayah kekuasaan yang terpisah dari kedua saudaranya, selain itu Pangeran Wangsakerta juga dipercaya sebagai asisten Pangeran Sepuh. Cirebon dalam pengaruh dan perlindungan Banten tidak lama, sebab selepas itu Banten digoyang perebutan tahta, Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan oleh anaknya Sultan Haji melalui bantuan
Selama hidupnya Sunan Gunung Jati pernah menikah dengan enam orang wanita, dan salah satunya adalah Nyimas Kawanganten. Nyimas Kawunganten adalah istri kedua Sunan Gunung Jati. Menurut Naskah Carita Parahyangan, Nyimas Kawunganten adalah anak Sang Surosowan, adapun tokoh Sang Surosowan sendiri merupakan anak Prabu Siliwangi dengan Kentring Manik Mayang Sunda. Sang Surosowan juga merupakan adik kandung dari Sang Surawisesa Prabu Surawisesa Raja Pakuan Pajajaran Pengganti Prabu Siliwangi. Sementara itu, menurut Naskah Mertasinga Nyimas Kawanganten adalah anak Permadi Puti, yaitu anak Prabu Siliwangi yang menjadi raja di Kerajaan Cangkuang, salah satu kerajaan bawahan Pajajaran. Menurut Carita Parahyangan, Sang Surosowan menjadi Pucuk Umun Raja Daerah di Banten, dia mempunyai dua anak, yaitu Arya Surajaya dan Nyimas Kawunganten. Anak laki-lakinya kelak menjadi Pucuk Umun Banten pengganti ayahnya, sementara adiknya menikah dengan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung JatiMenurut Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyimas Kawunganten terjadi pada tahun 1475, selanjutnya pada tahun 1577 keduanya dianugerahi seorang anak perempuan yang diberi nama Ratu Winahon. Dua tahun selepas itu, yaitu pada tahun 1579 Nyimas Kawunganten melahirkan anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama Maulana Hassanudin, putra ini juga dikenal dengan nama Pangeran Sebakingkin. Ratu Winahon, anak pertama Nyimas Kawunganten kelak diperistri oleh Pangeran Atas Angin Muhamad Al-Minangkabawi anak dari Sultan Pagaruyung Minakabau Sumatra Barat. Sementara Maulana Hasanuddin, anak laki-laki Nyimas Kawunganten, nantinya menjadi Sultan Banten pertama, sebelum menjadi Sultan, beliau dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana, anak Sultan Trenggono dari Demak. Dari perkawinan keduanya pula nantinya dilahirkan para Sultan Banten selanjutnya. Kisah mengenai Nyimas Kawunganten, Istri Sunan Gunung Jati kedua juga dapat anda simak pada Vidio berikut ini;Editor Sejarah CirebonSunanKalijaga bersedia membimbing Pangeran Natas Angin dalam mempelajari keluasan ilmu-ilmu Islam, tetapi dengan syarat Pangeran Natas Angin harus lulus ilmu pandadaran atau ujian terlebih dahulu. maksud diadakannya ujian ini untuk mengetahui kemampuan awal serta untuk mengukur seberapa besar kemantapan hati Pangeran Natas Angin ingin berguru kepada Kanjeng Sunan Kalliaga. Dengan mengetahui kemampuan awal siswa, maka sang Guru akan dapat memberikan pelajaran yang tepat dan bijaksana kepada Adhyatnika Geusan Ulun Sejarah Saturday, 10 Sep 2022, 2146 WIB Situs Religi Makam Pangeran Raja Atas Angin di Cijenuk Bandung Oleh Adhyatnika Geusan Ulun Bandung Barat adalah kabupaten yang relatif berusia muda. Daerah otonom hasil pemekaran Kab. Bandung tersebut diresmikan pada 12 januari 2007. Daerah yang cukup kaya dengan sejumlah potensi yang dimilikinya; mulai dari keadaan alam, jumlah penduduk, objek wisata, hingga institusi pendidikan yang tersebar di seluruh wilayahnya. Hal tersebut menjadikan kabupaten muda ini sangat berpeluang menjadi daerah yang unggul dalam segala bidang. Salah satu primadona Kab. Bandung Barat KBB adalah sektor pariwisata. Saat ini tercatat 159 situs bersejarah tersebar di 16 kecamatan. Sebanyak 17 situs di antaranya didaftarkan menjadi cagar budaya nasional. Sementara itu, baru satu situs yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya nasional, yaitu Observatorium Bosscha di Lembang. Jika melihat hal tersebut, objek wisata di daerah ini cukup lengkap. Mulai dari wisata alam seperti; Tangkuban Perahu, Gunung B[urangrang, Curug Maribaya, Taman Begonia, Taman Hutan Jayagiri Lembang, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Curug Omas, Curug Cimahi, Curug Malela, Situ Ciburuy, Stone Garden, Gua Pawon, Gua Sanghyang Tikoro, Lembah Curugan Gunung Putri, Waduk Cirata, Waduk Saguling, Sēndang Geulis Kahuripan, Pasir Keraton, Tutugan Burangrang. Kemudian wisata sejarah; Observatorium Bosscha, Makam Karl Adolf Bosscha. Belum lagi ada wisata keluarga dan kuliner, yakni Kampung Gajah Wonderland, Pusat Tanaman Cihideung, Dusun Bambu Lembang, Ciwangun Indah Camp, Terminal Wisata Grafika Cikole, Floating Market Lembang, Farmhouse Lembang, De'Ranch Lembang, dan Kota Baru Parahyangan. Adalah wisata religi yang tidak boleh diabaikan, dan patut diperhitungkan oleh Pemerintah KBB, mengingat penduduknya yang religius dan mayoritas suku Sunda yang identik dengan Islam. Sebenarnya cukup banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan menjadi wisata unggulan disamping objek di atas. Daerah yang banyak dihuni oleh para ulama dan santri ini memiliki sejumlah situs sejarah jejak-jejak peninggalan para penyebar agama Islam. Sebut saja Makam Embah Dalem Jagat Sakti dan Eyang Dipatiukur di Cipatat, Makam Eyang Keraton Ciawitali di Cikalongwetan. Makam Sembah Dalem Ibrahim di Ciraden Cihampelas, Selanjutnya,Makam Mama Ilyas Cibitung, Makam Keramat Salem di Desa Tenjolaut, Makam Keramat Dayeuh Luhur di Desa Puteran, Makam Keramat Bale Kambang di Komplek Perkebunan Gunung Susuruh, dan Makam Syaikh Maulana Muhammad Syafei atau Pangeran Raja Atas Angin di Cipongkor. Menarik untuk dikaji tentang situs sejarah yang berada di Desa Cijenuk, Kecamatan Cipongkor, Kab. Bandung Barat, yakni Makam Syaikh Maulana Muhammad Syafei. Pemakaman seluas 2,5 hektar ini, menyimpan jejak-jejak sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Priangan, khususnya Bandung dan sekitarnya. Sebuah pohon besar, yang akarnya menyembul ke permukaan makam, menambah istimewanya area ini. Adalah Syaikh Maulana Muhammad Syafei, seorang penyebar agama Islam keturunan langsung Sultan Ageng Tirtayasa, atau keturunan kesembilan Syaikh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Tokoh ini merupakan pelopor syiar Islam di sejumlah wilayah Jawa Barat; mulai dari Cisewu, Garut, hingga Surade, Sukabumi. Kedatangan Sang Penyebar agama Islam ini tidak terlepas dari misi dakwah yang diembannya sebagai seorang Waliyullah. Ditemani oleh dua panglimanya, yakni Eyang Jaga Raksa dan Eyang Jaga Wadana, Sang Wali berdakwah ke pelosok daerah. Dalam syiarnya di daerah Cijenuk Cipongkor, dibantu oleh sang istri, Nyimas Rangga Wuluh, dan kedua anak perempuannya, yakni Nyimas Rangga Wulan dan Nyimas Rangga Wayan, Syaikh Maulana mendirikan sebuah pesantren. Pesantren yang cukup sederhana, namun kerap dikunjungi para santri dari berbagai daerah. Keempat tokoh tersebut sangat berperan dalam berkembangnya Islam. Dari sinilah keturunan Syaikh Maulana banyak mendirikan pesantren di berbagai tempat. Semasa hidupnya, Syaikh Maulana Muhammad Syafei dikenal memiliki banyak karomah. Salah satu karomahnya adalah dapat berada di banyak tempat dalam satu waktu. Menurut penuturan para orang tua di Cijenuk yang diimami salat zhuhur oleh Sang Wali, sama halnya dengan daerah lain yang juga diimami salat Syaikh. Inilah yang kemudian membuat masyarakat menjulukinya sebagai Pangeran Raja Atas Angin. Gelar Pangeran Raja dikarenakan Syaikh turunan Kesultanan Cirebon, sementara Atas Angin dikarena dapat berpindah tempat dalam satu waktu. Kembali ke situs di atas. Setiap hari terdapat 100-200 peziarah datang. Pada malam Jumat Kliwon bisa mencapai peziarah. Bahkan pada 12-17 Rabiulawal, saat haul Sang Wali, jumlah peziarah mencapai puncaknya. Dalam se-minggu bisa mencapai 10 ribu peziarah datang dari berbagai daerah, termasuk dari pelosok Nusantara, seperti Batam, Aceh, Padang, Gorontalo dan bahkan Malaysia. Di sana, selain mendoakan Syaik Maulana, juga mengambil hikmah perjuangan syiarnya, sambil merasakan tenteramnya pemakaman di daerah yang masih hening, jauh dari kebisingan kota. Kegiatan yang dilakukan biasanya berzikir, bertawasul kepada Baginda Rasul, dan istigotsah yang dipandu oleh penjaga kunci makam. Para pecinta Sang Wali bersimpuh di kompleks pemakaman yang juga termasuk anak pertamanya, Raden Muhammad Kamaludin, dengan tembok setinggi 1,3 meteran. Di sebelah Barat berdiri gerbang berwarna putih. Sementara, di bagian timur terdapat dua bangunan majelis, berhadapan langsung dengan makam yang masing-masing berukuran 18 x 9 meter. Bangunan tersebut diperuntukkan bagi peziarah perempuan, dan 15 x 9 meter untuk laki-laki. Selain itu terdapat Masjid Al-Karomah, yang dibangun pada tahun 2000-an. Umumnya para peziarah datang berkelompok dengan kendaraan roda dua dan empat. Tidak sedikit juga perorangan. Melihat animo peziarah yang terus bertambah setiap waktu, belum didukung infrastruktur yang memadai. Jalan belum cukup dilalui oleh kendaraan ukuran besar. Masjid yang ada, juga tidak mampu menampung jamaah yang membludak pada saat haul. Keterbatasan dana pemeliharaan yang selama ini diambil dari sedekah peziarah dan uang pribadi pengelola sangat berimbas pada keasrian komplek. Simpulan Butuh perhatian dinas terkait agar semua permasalahan di atas dapat diatasi. Tempat yang sarat dengan sejarah itu sangat disayangkan jika dibiarkan tanpa dijaga kelestariannya. Sudah saatnya Pemerintah menyikapinya dengan cepat, agar jejak penyebaran Islam di Kab. Bandung Barat ini tidak sirna. Potensi wisata religi di atas perlahan akan meredup jika tidak segera dibenahi. Generasi akan datang hanya akan membaca kisah pejuang syiar Islam ini di buku-buku cerita legenda tanpa dapat melihat bukti fisiknya. Akhirnya, semoga hal ini segera ditindaklanjuti pihak berwenang. Gigihnya Syaikh Maulana Muhammad Syafei dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, haruslah dijawab oleh setiap anak bangsa dengan lebih semangat melestarikannya. Jika Pangeran Raja dapat berada di berbagai tempat dalam satu waktu, maka generasi berikutnya harus mampu berada dalam berbagai keadaan dalam satu tujuan. Melestarikan dan meneruskan perjuangan mulia Sang Wali. *** Narasumber Ii Prawirasuganda Tokoh Cipongkor Bandung Barat, Kuncen dan keturunan ke-9 Pangeran Raja Atas Angin. Sumber tulisan Profil Penulis Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Alumnus MQ Nyantren di Madinah dan Makkah’ 2016, Pengasuh Majelis Taklim dan Dakwah Qolbun Salim Cimahi, Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. email [email protected]., [email protected] geusan ulun. wisatareligi bandungbarat Disclaimer Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku UU Pers, UU ITE, dan KUHP. Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel. Berita Terkait Terpopuler di Sejarah
Padatahun 1706, Belanda memutuskan untuk mengangkat Pangeran Arya Cirebon (putera kedua dari Sultan Sepuh 1 Syamsudin Martawijaya) sebagai pengawas bupati-bupati di wilayah Cirebon-Priyangan dengan tujuan agar hasil bumi di wilayah tersebut dapat dengan mudah dikumpulkan dan dibawa ke Cirebon untuk kepentingan Belanda, pengangkatan tersebut juga bertujuan agar kedudukan Pangeran Arya Cirebon menjadi terpandang walau dia bukanlah seorang sultan.
Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi berputra - Pangeran Walangsungsang lahir 1423 - Lara Santang lahir 1426 - Raja Sangara lahir 1428 - Sanghiyang Surawisesa - Sang Surasowan A. Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman pendiri kerajaan Islam pertama di Tatar Sunda yang bernama Nagara Agung Pakungwati Cirebon. a. Dari istrinya yang bernama Nyai Indang Geulis, putri Ki Gedeng Danuwarsih, memiliki anak yaitu 1. Nyai Pakungwati b. Dari istrinya yang bernama Nyai Retna Riris atau Nyai Kancanalarang, putri Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang-alang memiliki anak yaitu 2. Pangeran Cerbon atau Pangeran Carbon yang lahir tahun 1454. c. Dari istrinya yang bernama Nyai Retna Rasajati, putri Maolana Ibrahim Akbar atau Syekh Maulana Jatiswara dari Campa memiliki anak yaitu 3. Nyai Laraskonda 4. Nyai Lara Sajati 5. Nyai Jatimerta 6. Nyai Jamaras 7. Nyai Mertasinga 8. Nyai Cempa 9. Nyai Rasamalasih B. Lara Santang atau Syarifah Mudaim menikah dengan Maolana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah dari Mesir, memiliki anak yaitu 1. Syarif Hidayatullah 2. Syarif Nurullah C. Raja Sangara atau Haji Mansur menikah dengan Nyai Kalimah atau Nyai Gedeng Kalisapu dari Campa. D. Sanghiyang Surawisesa melanjutkan tahta Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran hingga wafatnya pada tahun 1535 M. Prabu Sanghiyang Surawisesa ini yang membuat Prasasti Batutulis Bogor. Putranya yaitu 1. Prabu Ratu Dewata, wafat tahun 1543 M. E. Sang Surasowan, menjadi Bupati Banten Pesisir, memiliki anak yaitu 1. Sang Arya Surajaya, mewarisi tahta Banten Pesisir. 2. Nyai Kawung Anten, menikah dengan Syarif Hidayatullah. I. Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dilahirkan di Mekah pada tahun 1448. Pada tahun 1470 tiba di Cirebon dan menjadi Sinuhun Cirebon ke- II menggantikan uaknya Pangeran Cakrabuwana pada tahun 1479. Wafat pada tahun 1568 pada usia 120 tahun. a. Dari istrinya yang bernama Nyai Babadan wafat tahun 1477 putri Ki Gedeng Babadan yang dinikahi pada tahun 1471, anaknya meninggal saat masih kecil. b. Dari istrinya yang bernama Nyai Kawung Anten yang dinikahi pada tahun 1475, memiliki anak Ratu Winaon lahir tahun 1477 yang nantinya bersuamikan Pangeran Atas Angin atau Pangeran Raja Laut. Pangeran Sebakingkin atau Maulana Hasanuddin lahir tahun 1478 yang nantinya menjadi penguasa Banten pada tahun 1522. c. Dari istrinya yang bernama Nyai Pakungwati putri Pangeran Cakrabuwana, uaknya, yang dinikahi pada tahun 1478 tidak diketahui berputra. d. Dari istrinya yang bernama Ong Tien wafat tahun 1488, putri Tionghoa yang dinikahi pada tahun 1481 memiliki seorang putra yang meninggal ketika baru lahir di Luragung e. Dari istrinya yang bernama Syarifah Baghdad, adik Maolana Abdurrahman Bagdadi atau dikenal sebagai Pangeran Panjunan, mempunyai anak yaitu Pangeran Jayakelana lahir tahun 1486 dan wafat tahun 1516 yang nantinya menikah dengan Ratu Pembayun putri Raden Patah. Ratu Pembayun setelah Pangeran Jayakelana wafat menikah lagi dengan Pangeran Pasai atau Ki Fadhillah. Pangeran Gung Anom atau Pangeran Bratakelana atau Pangeran Sedang Lautan lahir tahun 1488 dan wafat tahun 1513 di laut Gebang yang nantinya menikah dengan Ratu Nyawa putri Raden Patah. f. Dari istrinya yang bernama Nyai Tepasari, putri Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit, memiliki anak yaitu Nyai Ratu Ayu lahir tahun 1493 yang nantinya menikah dengan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak kedua, dan setelah Pangeran Sabrang Lor wafat, menikah lagi dengan Pangeran Pasai atau Ki Fadhillah. Pangeran Mohammad Arifin atau Pangeran Pasarean lahir tahun 1495 dan wafat tahun 1552 di Demak yang menikah dengan Ratu Nyawa, janda kakaknya, Pangeran Gung Anom atau Pangeran Sedang Lautan. g. Dari istrinya yang bernama Nyai Gedeng Sembung atau Nyai Ageng Sampang atau Nyai Gede Kancingan, tidak diketahui memiliki anak. h. Dari istrinya yang bernama Nyi Mas Rarakerta, putri Ki Gedeng Jatimerta memiliki anak yaitu Bung Cikal Nyai Ratu Ayu menikah dengan Pangeran Sabrang Lor pada tahun 1511, namun Pangeran Sabrang Lor wafat pada tahun 1521 dengan tidak berputra. Kemudian Ratu Ayu bersuamikan Ki Fadhillah pada tahun 1524. Dari perkawinan ini Ratu Ayu memiliki anak yaitu Ratu Wanawati Raras yang lahir tahun 1525 Pangeran Pasarean menjadi Dipati Cirebon I pada tahun 1528 atas nama ayahnya ketika Syarif Hidayat sedang berkeliling Tatar Sunda menyebarkan agama Islam. Pangeran Pasarean menikah dengan Ratu Nyawa, putri Raden Patah, janda dari Pangeran Gung Anom dan memiliki anak yaitu Pangeran Kesatriyan yang lahir tahun 1516. Pangeran Losari yang lahir tahun 1518. Pangeran Sawarga atau Pangeran Sindang Kempeng yang lahir tahun 1521 dan wafat tahun 1556. Nyai Ratu Emas yang lahir tahun 1523. Pangeran Santana Panjunan yang lahir tahun 1525. Pangeran Weruju atau Pangeran Suryanagara yang lahir tahun 1550. Pangeran Sawarga bin Pangeran Pasarean menikah dengan Ratu Wanawati Raras binti Fadhillah, memiliki anak yaitu Ratu Ayu Sakluh yang lahir tahun 1545. Pangeran Emas atau bergelar Panembahan Ratu yang lahir tahun 1547 dan wafat tahun 1649. Pangeran Manis yang lahir tahun 1548. Pangeran Wirasuta yang lahir tahun 1550. Panembahan Ratu atau Pangeran Emas dua kali menikah. a. Dari Ratu Harisbaya tidak memiliki anak, dicerai kemudian Ratu Harisbaya menikah dengan Pangeran Geusan ulun dari Sumedang. b. Dari Ratu Lampok Angroros, putri Sultan Pajang Jaka Tingkir pada tahun 1571, memiliki anak yaitu Pangeran Seda Blimbing yang lahir tahun 1571. Pangeran Arya Kidul yang lahir tahun 1572. Pangeran Wiranagara yang lahir tahun 1573. Ratu Emas yang lahir tahun 1575. Pangeran Sedang Gayam yang lahir tahun 1578. Pangeran Singawani yang lahir tahun 1581. Pangeran Sedang Gayam menjadi Dipati Cirebon II dan menikah dengan seorang putri Mataram, memiliki anak yaitu; Ratu Putri Raden Putra dan bergelar Panembahan Girilaya yang lahir tahun 1601 dan wafat di Girilaya pada tahun 1662. Panembahan Girilaya memiliki dua istri. a. Dari istri pertamanya putri Amangkurat I dari Mataram memiliki anak yaitu Pangeran Martawijaya yang menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarim Syamsuddin. Pangeran Kartawijaya yang menjadi Sultan Anom I dengan gelar Sultan Anom Abil Makarim Badriddin. Pangeran Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon I atau Panembahan Agung, disebut juga Panembahan Gusti. b. Dari istri kedua memiliki anak yaitu; Panembahan Katimang Pangeran Raja Giyanti.
Sangpangeran berasal dari Kraton Kasepuhan karena dirinya adalah putra Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh [SS I]). Pada saat SS I meninggal dunia di tahun 1697, permaisurinya mengirim surat diplomatik ke Batavia dan merekomendasikan agar yang menjadi suksesor tahta adalah Pangeran Aria Cirebon karena ia dianggap lebih "kompeten."
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mumu Mujahidin - SUASANA sunyi tapi menenteramkan jiwa akan begitu terasa saat kita memasuki makam keramat Syekh Maulana Muhammad Syafei, yang juga dikenal sebagai Pangeran Raja Atas Angin. Makamnya berada di RT 01/07, Desa Cijenuk, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. DI area pemakaman seluas 2,5 hektare ini, makam Syekh Maulana Muhammad Syafei berada di sebelah makam istrinya, Nyimas Rangga Wuluh. Di sana ada sebuah pohon besar. Akarnya menyembul ke permukaan makam. Di kompleks pemakaman ini juga dimakamkan kedua anak perempuan Syekh Maulana Muhammad Syafei, yakni Nyimas Rangga Wulan dan Nyimas Rangga Wayan. MAKAM KERAMAT - Ii Prawira Suganda, keturunan kesembilan Syekh Maulana Muhammad Syafei, berfoto di depan makam keramat Syekh Maulana Muhammad Syafei di Desa Cijenuk, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Minggu 28/5/2017. TRIBUN JABAR/MUMU MUJAHIDIN Cucu Syekh Maulana, Eyang Khalidin, dan tiga buyutnya, yakni Eyang Zaifah, Eyang Nur Kholifah, dan Eyang Syamsyudin, juga dimakamkan di sana. Begitu pula dua panglima Syeks Maulana, yakni Eyang Jaga Raksa dan Eyang Jaga Wadana. Kompleks pemakaman dipagari tembok setinggi 1,3 meteran berwarna putih. Pintu gerbang kompleks berada di sebelah barat. Di luar kompleks pemakaman juga terdapat makam keluarga Syekh Maulana yang lain, termasuk anak pertamanya, Raden Muhammad Kamaludin. Belakangan, warga sekitar juga banyak yang dimakamkan di sekitar makam keramat tersebut. Di bagian timur makam terdapat dua bangunan majelis yang berhadapan langsung dengan makam. Masing- masing berukuran 18 x 9 meter, yang diperuntukkan bagi peziarah perempuan, dan 15 x 9 meter bagi peziarah laki-laki. Selain itu terdapat Masjid Al Karomah, yang dibangun pada tahun 2000-an. Menurut Ii Prawira Suganda, pendiri Yayasan Syekh Maulana Muhammad Syafei, Pangeran Raja Atas Angin adalah keturunan langsung Sultan Ageng Tirtayasa atau keturunan kesembilan Sultan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Komplek makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat.Silvita Agmasari "Syekh Maulana Muhammad Syafei merupakan pelopor syiar Islam di sejumlah wilayah di Jawa Barat, mulai dari Cisewu, Garut, hingga Surade, Sukabumi," ujar Ii, keturunan kesembilan Syekh Maulana Muhammad Syafei, di kediamannya, Minggu 28/5.